0 Wisuda Santri "Gabungan" 2011
Jumat, 25 Maret 2011
Label:
Dokumentasi
TPQ Amirul Mukminin dan TPQ Darun Na'im mengadakan Wisuda Santri Gabungan beberapa TPQ. Di antaranya: TPQ Amirul Mukminin, TPQ Darun Na'im, TPQ Imaduddin, dan TPQ Nurul Qur'an.
Wisuda diadakan di Gedung Lembaga Administrasi Negara (LAN), pada hari Ahad, tanggal 14 Rabi'ul Akhir 1432 H bertepatan 20 Maret 2011.
Jumlah santri yang diwisuda kali ini ada 85 santri dengan rincian: TPQ Amirul Mukminin: 23 santri, TPQ Darun Na'im: 37 santri, TPQ Imaduddin: 20 santri, dan TPQ Nurul Qur'an: 5 santri.
Berikut beberapa dokumentasinya: Klik gambar jika ingin memperbesar.
Spanduk Wisuda Santri Gabungan 2011 |
Abdurrosyid rohimahullah, sebagai master of ceremonial |
Para wisudawan |
Para wisudawati |
Abdurrahim, sebagai qori' |
Para wisudawati |
Ustadz Arifuddin sebagai ketua panitia |
Ustadz Ihsan dari DEPAG sedang membawakan sambutan |
Kata Sambutan |
Khaerul Akbar sebagai kepala TPQ |
Nasyid yang dibawakan oleh grup nasyid dari TPQ Nurul Qur'an |
Panitia Wisuda Gabungan 2011 |
0 Seputar Jabat Tangan
Minggu, 20 Maret 2011
Label:
Hukum
Penulis: Ammi Nur Baits
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Pengertian
Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)
Ibn Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)
Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita.
Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:
Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat tangan.
Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah ta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya: “(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad Dzariyat: 25)
Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin).” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan Berjabat Tangan
1. Terampuninya dosa
* Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343)
* Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
2. Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.
3. Menimbulkan ketenangan jiwa
4. Menghilangkan kebencian dalam hati
* “Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
* “Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani)
Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.
5. Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak jabat tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
Ibn Batthal mengatakan:
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan.
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)
Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:
* Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium
* Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
* Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
* Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
* Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis
Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian mengharamkan secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk menerapkan firman Allah: “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An Nisa’: 59)
Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis
Ulama Mazhab Hanafi
Ulama Mazhab Maliki
Ulama Mazhab Syafi’i
Ulama Mazhab Hambali
Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.
Kedua, Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?
* Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)
* A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Jika ada wanita mukmin yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 10. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka… Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah baiat mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d ayat 12)
Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha: “Wanita mukmin yang menerima perjanjian ini berarti telah lulus ujian. Sementara jika para wanita telah menerima perjanjian tersebut secara lisan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: ‘Pergilah, karena aku telah menerima baiat kalian’. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari, 7214)
* Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat.” (HR. Ahmad 2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)
Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:
Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen baiat merupakan momen yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh karena itu, para wanita yang berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak beliau untuk berjabat tangan. Namun demikian, Beliau menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah, manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya niat jahat dalam batin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada. Lengkap sudah posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan. Ada faktor pendorong yang kuat dan tidak adanya faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.
Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi: ulama sepakat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahramnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus segala perselisihan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita asing.
Ketiga, Apakah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?
Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.
Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (Al Ushul, 1/210)
As Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.
Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: “Ini adalah pendapat para peneliti di antara ahli hadis. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: “ini adalah pendapat kebanyakan ulama’” (Af’alur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam Mushafaha Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)
Kesimpulan:
Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:
Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’, bahwasanya Ma’qil bin Yasar mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …
Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus perselisihan ulama dalam masalah ini. Sehingga siapapun yang berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan pengekor hawa nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya: Keterangan ulama tentang status hadis ini:
Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (Az Zawajir, 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (Al Majma’uz Zawaid, 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (As Shahihah, 1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “Shaduq namun hafalannya agak rusak.”… Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf (perkataan Ma’qil bin Yasar dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ma’qil mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahram. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.
Beberapa keterangan untuk hadis ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…” (Syarh Shahih Muslim, 8/457)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al Qur’an, 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan.
Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dapat disimpulkan bahwa jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.
Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.
Allahu a’lam…
***
Artikel www.muslimah.or.id
Read more
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Pengertian
Al Hattab (ulama madzhab Malikiyah) mengatakan: “Para ulama kami (Malikiyah) mengatakan: Jabat tangan artinya meletakkan telapak tangan pada telapak tangan orang lain dan ditahan beberapa saat, selama rentang waktu yang cukup untuk menyampaikan salam.” (Hasyiyah Al Adzkar An Nawawi oleh Ali Asy Syariji, hal. 426)
Ibn Hajar mengatakan: “Jabat tangan adalah melekatkan telapak tangan pada telapak tangan yang lain.” (Fathul Bari, 11/54)
Hukum
An Nawawi mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya jabat tangan adalah satu hal yang disepakati sunnahnya (untuk dilakukan) ketika bertemu.”
Ibn Batthal mengatakan: “Hukum asal jabat tangan adalah satu hal yang baik menurut umumnya ulama.” (Syarh Shahih Al Bukhari Ibn Batthal, 71/50)
Namun penjelasan di atas berlaku untuk jabat tangan yang dilakukan antara sesama laki-laki atau sesama wanita.
Berikut adalah dalil-dalil dianjurkannya jabat tangan:
* Qatadah bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah jabat tangan itu dilakukan diantara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Anas menjawab: “Ya.” (HR. Al Bukhari, 5908)
* Abdullah bin Hisyam mengatakan: “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara beliau memegang tangan Umar bin Al Khattab.” (HR. Al Bukhari 5909)
* Ka’ab bin Malik mengatakan: “Aku masuk masjid, tiba-tiba di dalam masjid ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Thalhah bin Ubaidillah berlari menyambutku, menjabat tanganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku.” (HR. Al Bukhari 4156)
Dan beberapa hadis lainnya yang akan disebutkan dalam pembahasan keutamaan berjabat tangan.
Akan tetapi dikatakan bahwasanya Imam Malik membenci jabat tangan. Dan ini merupakan pendapat Syahnun dan beberapa ulama Malikiyah. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah ta’ala ketika menceritakan salamnya Malaikat kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman, yang artinya: “(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: ‘Salaamun’ Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (QS. Ad Dzariyat: 25)
Pada ayat di atas, malaikat hanya menyampaikan salam kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan mereka tidak bersalaman. Sehingga Malikiyah berkesimpulan bahwa di antara kebiasaan orang saleh (nabi Ibrahim & para Malaikat) adalah tidak berjabat tangan ketika ketemu, tetapi hanya mengucapkan salam.
Namun, yang lebih tepat, pendapat Imam Malik yang terkenal adalah beliau menganjurkan jabat tangan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah riwayat, di mana Sufyan bin ‘Uyainah pernah menemui beliau dan Imam Malik bersalaman dengan Sufyan. Kemudian Imam Malik mengatakan: “Andaikan bukan karena bid’ah, niscaya aku akan memelukmu.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Orang yang lebih baik dari pada aku dan kamu yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeluk Ja’far ketika pulang dari negeri Habasyah. Kata Malik: “Itu khusus (untuk Ja’far).” Komentar Sufyan: “Tidak, itu umum. Apa yang berlaku untuk Ja’far juga berlaku untuk kita, jika kita termasuk orang saleh (mukmin).” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/13949)
Kesimpulannya, bahwasanya pendapat yang paling tepat adalah dianjurkannya berjabat tangan antar sesama. Mengingat banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Sedangkan adanya pendapat yang menyelisihi hal ini terlalu lemah ditinjau dari banyak sisi.
Keutamaan Berjabat Tangan
1. Terampuninya dosa
* Dari Al Barra’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343)
* Dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
2. Menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim 93)
Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.
3. Menimbulkan ketenangan jiwa
4. Menghilangkan kebencian dalam hati
* “Lakukanlah jabat tangan, karena jabat tangan bisa menghilangkan permusuhan.” Tetapi hadis ini didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (Ad Dha’ifah, 1766)
* “Lakukanlah jabat tangan, itu akan menghilangkan kedengkian dalam hati kalian.” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatha’ dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani)
Terdapat beberapa hadis dalam masalah ini, namun semuanya tidak lepas dari cacat. Di antaranya adalah:
Terlepas dari hadis di atas, telah terbukti dalam realita bahwa berjabat tangan memiliki pengaruh dalam menghilangkan kedengkian hati dan permusuhan.
5. Berjabat tangan merupakan ciri orang-orang yang hatinya lembut
Ketika penduduk Yaman datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penduduk Yaman telah datang, mereka adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada kalian.” Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkomentar tentang sifat mereka: “Mereka adalah orang yang pertama kali mengajak untuk berjabat tangan.” (HR. Ahmad 3/212 & dishahihkan Syaikh Al Albani, As Shahihah, 527)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk Yaman adalah orang yang hatinya lebih lembut dari pada para sahabat. Di antara ciri khas mereka adalah bersegera untuk mengajak jabat tangan.
Mencium Tangan Ketika Jabat Tangan
Ibn Batthal mengatakan:
“Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi mencium tangan ketika bersalaman. Imam Malik melarangnya, sementara yang lain membolehkannya.” (Syarh Shahih Al Bukhari, Ibn Batthal 17/50)
Di antara dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan adalah:
* Abu Lubabah & Ka’ab bin Malik, serta dua sahabat lainnya (yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk) mencium tangan Nabi Shallallhu ‘alaihi wa Sallam ketika taubat mereka diterima oleh Allah. (HR. Al Baihaqi dalam Ad Dalail & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
* Abu Ubaidah mencium tangan Umar ketika datang dari Syam (HR. Sufyan dalam Al Jami’ & disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
* Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibn Abbas ketika Ibn Abbas menyiapkan tunggangannya Zaid. (HR. At Thabari & Ibn Al Maqri. Disebutkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath tanpa komentar)
* Usamah bin Syarik mengatakan: “Kami menyambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami mencium tangannya.” (HR. Ibn Al Maqri, Kata Al Hafizh: Sanadnya kuat.”)
Dan masih banyak beberapa riwayat lainnya yang menunjukkan bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan. Bahkan Ibn Al Maqri menulis buku khusus yang mengumpulkan beberapa riwayat tentang bolehnya mencium tangan ketika berjabat tangan.
Satu hal yang perlu diingat bahwasanya mencium tangan ini diperbolehkan jika tidak sampai menimbulkan perasaan mengagungkan kepada orang yang dicium tangannya dan merasa rendah diri di hadapannya. Karena hal ini telah masuk dalam batas kesyirikan. (lih. Al Iman wa Ar Rad ‘ala Ahlil Bida’, Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh)
An Nawawi mengatakan: “Mencium tangan seseorang karena sifat zuhudnya, salehnya, amalnya, mulianya, sikapnya dalam menjaga diri dari dosa, atau sifat keagamaan yang lainnya adalah satu hal yang tidak makruh. Bahkan dianjurkan. Akan tetapi jika mencium tangan karena kayanya, kekuatannya, atau kedudukan dunianya adalah satu hal yang makruh dan sangat di benci. Bahkan Abu Sa’id Al Mutawalli mengatakan: “Tidak boleh” (Fathul Bari, Al Hafizh Ibn Hajar 11/57)
Berdasarkan beberapa keterangan ulama di atas dan dengan mengambil keterangan ulama yang lain, disimpulkan bahwa mencium tangan diperbolehkan dengan beberapa persyaratan:
* Tidak sampai menimbulkan sikap mengagungkan orang yang dicium
* Tidak menimbulkan sikap merendahkan diri di hadapan orang yang dicium
* Karena kemuliaan dan kedudukan dalam agama dan bukan karena dunianya
* Tidak dijadikan kebiasaan, sehingga mengubah sunnah jabat tangan biasa
* Orang yang dicium tidak menjulurkan tangannya kepada orang yang mencium (keterangan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah)
Berjabat Tangan Dengan Lawan Jenis
Masalah ini termasuk di antara kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan kelompok yang memiliki semangat dalam dunia islam. Tak heran, jika kemudian pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat yang cukup meruncing. Sebagian mengharamkan secara mutlak, sebagian membolehkan dengan bersyarat, bahkan sebagian berpendapat sangat longgar. Tulisan ini bukanlah dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat tersebut. Namun tidak lebih dari sebatas usaha untuk menerapkan firman Allah: “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apapun maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An Nisa’: 59)
Agar kajian lebih sistematis, pembahasan masalah ini akan diperinci menjadi beberapa bagian:
Pertama, Perbedaan pendapat ulama dalam masalah jabat tangan dengan lawan jenis
Ulama Mazhab Hanafi
Diperbolehkan melakukan jabat tangan dengan persyaratan aman dari munculnya syahwat dari kedua pihak orang yang berjabat tangan. Sehingga mereka membedakan antara yang tua dan yang masih muda. Berdasarkan kemungkinan munculnya syahwat.
Ulama Mazhab Maliki
Mazhab ini secara tegas melarang jabat tangan, dan tidak membedakan antara yang sudah tua maupun yang masih muda.
Ulama Mazhab Syafi’i
Sebagian syafi’iyah membolehkan jabat tangan dengan syarat adanya benda yang melapisi dan aman dari munculnya fitnah atau syahwat yang mengarah pada perzinaan. Sebagian yang lain melarang secara mutlak. Dan pendapat kedua ini adalah pendapat mayoritas Syafi’iyah. Di antaranya adalah An Nawawi dan Ibn Hajar al ‘Asqalani.
Ulama Mazhab Hambali
Dalam mazhab ini ada dua pendapat. Pertama melarang secara mutlak tanpa membedakan antara yang muda, yang tua dan yang kedua memakruhkan jika dilakukan dengan yang sudah tua.
Pendapat yang lebih kuat, akan disimpulkan di akhir pembahasan ini.
Kedua, Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjabat tangan dengan wanita?
* Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)
* A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan: “Jika ada wanita mukmin yang berhijrah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengujinya, berdasarkan firman Allah dalam surat Al Mumtahanah ayat 10. “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka… Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan baiat, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah baiat mereka…” (QS. Al Mumtahanah: ayat 10 s/d ayat 12)
Kata A’isyah radhiyallahu ‘anha: “Wanita mukmin yang menerima perjanjian ini berarti telah lulus ujian. Sementara jika para wanita telah menerima perjanjian tersebut secara lisan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka: ‘Pergilah, karena aku telah menerima baiat kalian’. Dan demi Allah! Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyentuh tangan wanita (tersebut) sedikitpun. Beliau hanya membaiat dengan ucapan.” (HR. Al Bukhari, 7214)
* Dari Abdullah bin Amr bin al ‘Ash mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika baiat.” (HR. Ahmad 2/213 & dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah 530)
Riwayat-riwayat secara tegas menunjukkan bahwa baiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita adalah secara lisan, dan tidak dengan berjabat tangan. Hadis ini sekaligus menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan jabat tangan dengan wanita asing di selain momen baiat. Hal ini dapat dipahami melalui dua alasan:
Pertama, Karena Baiat adalah peristiwa sangat penting dalam sejarah hidup seseorang. Momen baiat merupakan momen yang sangat mendesak untuk diiringi dengan jabat tangan. Karena ini akan lebih menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam baiat. Oleh karena itu, para wanita yang berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak beliau untuk berjabat tangan. Namun demikian, Beliau menolaknya. Artinya, terdapat faktor pendorong yang sangat kuat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan dengan wanita asing.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah, manusia yang ma’shum (terjaga dari kesalahan), sehingga sangat kecil kemungkinan munculnya niat jahat dalam batin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika harus berjabat tangan dengan wanita. Artinya, faktor penghalang yaitu munculnya niat jahat, sehingga menyebabkan jabat tangan ini menjadi perbuatan maksiat karena diiringi dengan syahwat tidaklah ada. Lengkap sudah posisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan jabat tangan. Ada faktor pendorong yang kuat dan tidak adanya faktor penghalang. Namun demikian, beliau tidak bersedia melakukan jabat tangan dengan wanita asing. Semua ini menunjukkan bahwasanya bagian dari syariat beliau adalah meninggalkan jabat tangan dengan wanita asing.
Ringkasnya adalah sebagaimana yang dinukil dari Ibn ‘Athiyah dan At Tsa’labi: ulama sepakat bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuhkan tangannya dengan wanita yang bukan mahramnya sama sekali. Dengan adanya nukilan ijma’ ini, diharapkan bisa memutus segala perselisihan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan jabat tangan dengan wanita ataukah tidak. Dengan demikian, semua hadis yang secara tidak jelas mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan dengan wanita, dikembalikan pada kesimpulan tegas ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berjabat tangan dengan wanita asing.
Ketiga, Apakah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram?
Ulama ushul menyatakan bahwa sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut haram secara mutlak. Tetapi hanya menunjukkan hukum makruh.
Al Jas-shas mengatakan: “Pendapat kami tentang sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan sama dengan pendapat kami tentang status perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata.” (Al Ushul, 1/210)
As Syaukani mengatakan: “Sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan statusnya untuk diikuti sebagaimana sikap beliau dalam melakukan suatu berbuatan.”
Artinya, semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menunjukkan hukum sunah, sebagaimana semata-mata sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam As Syafi’i, oleh karena itu banyak diikuti oleh ulama mazhabnya. Di antaranya adalah Al Juwaini, Abu Hamid Al Ghazali, As Shairafi. Pendapat ini juga yang dipilih oleh sebagian Hanafiyah dan adalah satu pendapat Imam Ahmad yang kemudian dipilih oleh Abul Hasan At Tamimi, Al Fakhr Isma’il, dan Abu Ya’la Al Farra’.
Abu Syamah Al Maqdisy mengatakan: “Ini adalah pendapat para peneliti di antara ahli hadis. Penulis kitab Al Hawi mengatakan: “ini adalah pendapat kebanyakan ulama’” (Af’alur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 66). (lihat Keterangan di atas dalam Mushafaha Al Ajnabiyah fi mizanil Islam, 67)
Kesimpulan:
Berdalil dengan hadis-hadis yang menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berjabat tangan dengan wanita asing tidak cukup untuk menghukumi haramnya berjabat tangan dengan wanita. Karena semata-mata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu perbuatan hanya menunjukkan hukum makruh. Untuk menegaskan hukum haram, memerlukan dalil khusus yang menegaskannya. Lalu, apakah ada dalil tegas yang melarang perbuatan tersebut?
Keempat, Hadis-hadis yang secara tegas melarang jabat tangan dengan lawan jenis:
Pertama, Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)
Hadis ini dibawakan oleh At Thabrani dengan sanad berikut: Dari Abdan bin Ahmad, dari Ali bin Nashr, dari Syaddad bin Said, dari Abul Ala’, bahwasanya Ma’qil bin Yasar mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: …
Andaikan hadis ini shahih maka cukup untuk menjadi pemutus perselisihan ulama dalam masalah ini. Sehingga siapapun yang berpendapat sebaliknya, layak untuk digelari dengan pengekor hawa nafsu. Namun hadis ini memiliki cacat. Berikut keterangan selengkapnya: Keterangan ulama tentang status hadis ini:
Ibn Hajar Al haitami mengatakan: “Sanadnya sahih.” (Az Zawajir, 368)
Al Hafizh Al Haitsami mengatakan: “Perawinya adalah para perawi kitab shahih.” (Al Majma’uz Zawaid, 7718)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadis ini sanadnya jayyid” (As Shahihah, 1/447)
Muhammad Abduh Alu Muhammad Abyadh menjelaskan secara lebih terperinci sebagai berikut: “Semua perawi hadis ini adalah perawi yang terdapat dalam Al Bukhari & Muslim. Kecuali Syaddad bin Sa’id. Beliau hanya terdapat dalam shahih muslim dan hanya meriwayatkan satu hadis saja dalam shahih Muslim. Sebagian ulama, semacam Ahmad dan Ibn Ma’in menganggap Tsiqah perawi ini. Namun Al Bukhari mengatakan tentang perawi ini: “Shaduq namun hafalannya agak rusak.”… Ibn Hibban mengatakan: “Terkadang keliru.”
Sedangkan riwayat Syaddad bin Sa’id menyelisihi riwayat perawi yang lebih tsiqah, sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Basyir bin Uqbah dari Abul ‘Ala, dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, secara mauquf (perkataan Ma’qil bin Yasar dan bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ma’qil mengatakan: “Kalian bersengaja membawa jarum kemudian menusukkannya ke kepalaku, itu lebih aku sukai dari pada kepalaku dimandikan oleh wanita yang bukan mahram. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 3/15/17310)
Sementara Basyir bin Uqbah adalah perawi yang terdapat dalam shahih Al Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, riwayat Basyir bin Uqbah lebih didahulukan dari pada riwayat Syaddad bin Sa’id.” (Mushafahah Al Ajnabiyah hal. 30, dikutip dengan sedikit penyesuaian)
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa riwayat di atas bukanlah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi perkataan sahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu.
Kedua, Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ditetapkan (ditakdirkan) bagi setiap anak Adam bagian dari perbuatan zina. Pasti dia alami dan tidak bisa mengelak. Dua mata zinanya melihat, dua telinga zinanya mendengar, lidah zinanya berbicara, tangan zinanya menyentuh, kaki zinanya melangkah, hati zinanya berangan-angan, dan kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakan itu semua.” (HR. Muslim 6925)
Beberapa keterangan untuk hadis ini:
An Nawawi mengatakan: “Bahwa setiap anak Adam ditakdirkan untuk melakukan perbuatan zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina sesungguhnya, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan. Di antara mereka ada yang zinanya tidak sungguhan, dengan melihat hal-hal yang haram, atau mendengarkan sesuatu yang mengarahkan pada perzinaan dan usaha-usaha untuk mewujudkan zina, atau dengan bersentuhan tangan, atau menyentuh wanita asing dengan tangannya, atau menciumnya…” (Syarh Shahih Muslim, 8/457)
Ibn Hibban memasukkan hadis ini dalam kitab Shahihnya. Beliau meletakkan hadis ini di bawah judul: “Bab Penggunaan istilah zina untuk tangan yang menyentuh sesuatu yang tidak halal.” (Shahih Ibn Hibban, 10/269)
Dalam kesempatan yang lain, Ibn Hibban memberikan judul: “Bab, digunakan istilah zina untuk anggota badan yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan cabang dari perzinaan.” (Shahih Ibn Hibban, 10/367)
Penamaan judul Bab dalam kitab shahihnya yang dilakukan Ibn hibban di sini menunjukkan bahwa beliau memahami bahwa kasus pelanggaran yang dilakukan anggota tubuh yang mengantarkan zina adalah bentuk perbuatan zina. Karena penamaan judul bab para penulis hadis adalah pernyataan pendapat beliau.
Al Jas-shas mengatakan: “Digunakan istilah zina untuk kasus ini dalam bentuk majaz (bukan zina sesungguhnya dengan kemaluan, -pen).” (Ahkam Al Qur’an, 3/96)
Kesimpulannya, istilah zina bisa digunakan untuk semua anggota badan yang melakukan pelanggaran, karena perbuatan tersebut merupakan pengantar terjadinya perzinaan. Sedangkan zina yang hakiki adalah zina kemaluan.
Dengan hadis kedua ini (hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dapat disimpulkan bahwa jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan disertai syahwat adalah perbuatan haram baik oleh orang muda maupun tua, karena perbuatan ini termasuk bagian perbuatan zina.
Ketiga: Penjelasan Sinqithi yang berdalil dengan perintah untuk menundukkan pandangan.
Allahu a’lam…
***
Artikel www.muslimah.or.id
0 Jangan Salah Cara dalam Mencintai Nabi Kita!
Senin, 07 Maret 2011
Label:
Hukum
Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam termasuk ushul iman (pokok keimanan) yang bergandengan dengan cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla. Allah telah menyebutkannya dalam satu ayat dengan menyertakan ancaman bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada kerabat, harta, negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ
"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik"." (QS. Al Taubah: 24)
Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnu Baththal, makna hadits ini adalah orang yang sempurna imannya pasti tahu bahwa hak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. Karena melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kita terselamatkan dari neraka dan diselamatkan dari kesesatan."
Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya.Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas segala-galanya.
Maka wajib mendahulukan dan mengutamakan kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atas kecintaan kepada diri sendiri, anak, kerabat, keluarga, harta, dan tempat tinggal serta segala sesuatu yang sangat dicintai manusia.
Memang setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya.
Al Qadli 'Iyadl rahimahullah, berkata: "di antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . "
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai firman Allah Ta'ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau. Namun, perilaku banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam sejarah pun, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi, yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir pada tahun 362 H.
. . motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi, mazhab Bathiniyyah, tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.
Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah peringatan maulid yang tidak ditemukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini, menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al Quran dan al Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu ibadah.
Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:
Pertama: Sikap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah 'Azza wa Jalla atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut.
Peringatan maulid Nabi, menurut Ibn Hajar dan as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ke muka bumi.
Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.
Puasa 'Asyura termasuk sunnah yang telah dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sebaliknya, beliau telah mewanti-wanti ummatnya dari membuat-buat bid'ah, seperti dalam sabdanya, "Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan nikmat terbesar yang tercurah pada umat ini adalah diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, Al Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai nikmat,
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
"Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran: 164).
Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan dianalogikan dengan beliau.
Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan sangat antusias mengerjakan berbagai kebaikan.
. . sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, . .
Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari kelahirannya dengan berpuasa.
Sebagian beralasan dengan puasa seninnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang merupakan hari kelahirannya. Ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai puasa Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.
Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap pekan, bukan sekali setahun.
Selain itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis. Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Sehingga berdalih dengan puasa Senin tanpa hari Kamis termasuk pemaksaan dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat diterima, mestinya peringatannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan berfoya-foya dan makan-makan.
Ketiga: Peringatan maulid Nabi dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari klasifikasi sebagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek) atau dhalalah (sesat).
Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan diyakini oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud radliyallah 'anhu berkata, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. ath-Thabrani dan al Haitsami).
Abdullah bin ‘Umar radliyallah 'anhu menyatakan, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Al Ibanah al Kubra libni Baththah, 1/219).
Keempat: Peringatan Maulid merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang pentingnya mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
. . upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan.
Mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya kepada anak-anak mereka setiap waktu.
Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab